01 Jan
01Jan

Menurut berita kompasiana.com - Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi sedih berat atas sikap seseorang pemain sepakbola, bakat muda berdarah Indonesia yang saat ini jadi penjaga gawang di club populer Italia, Juventus. Emilio Audero Mulyadi namanya. Lahir di Mataram, Nusa Tenggara Barat, 20 tahun kemarin, dari ayah yang asli Indonesia serta ibu yang orang Italia. Semenjak tahun 2010 dia tinggal di Italia serta sudah pernah menguatkan tim nasional Italia U-15, U-16, serta U-18. Saat ini telah bermain di level senior, walau belum jadi penjaga gawang penting Juventus. 


PSSI yang mengincar sang penjaga gawang untuk masuk jadi pemain tim nasional, mendapatkan penampikan dengan fakta dia lebih pilih jadi pemain tim nasional Italia. Ketua PSSI juga memberi komentar jika dia sombong sekali. "Ada orang kita bernama Audero Mulyadi yang dari Juventus tetapi sombongnya meminta ampun," kata Edy saat menasehati pada pemain seleksi tim nasional U-19 di National Youth Training Center, Sawangan, Depok, Sabtu (4/3), seperti dikabarkan oleh Tribunnews.com. 


Lepas dari hal itu, nyatanya kita tidak kapok dengan program naturalisasi. Sekarang ada beberapa pemain yang diincar, serta rata-rata memang benar ada darah Indonesianya. Ada yang bermain di Belanda, Qatar, Spanyol, serta Italia. Jadi, riwayat yang dirintis oleh Christian Gonzales serta Irfan Bachdim yang tampil bagus di tahun 2010 masih bersambung. 


Kemudian masih tertera beberapa nama seperti Diego Michel, Greg Nowokolo, Victor Igbonefo, Raphael Maitimo, Sergio van Dijk, Stefano Lilipali, serta Bio Paulin. Yang tidak punyai darah Indonesia tetapi pilih jadi WNI rata-rata asal Afrika, tidak hanya Gonzales yang dari Uruguay. Lainnya ialah bekas pemain sepak bola di negeri kincir angin Belanda yang ada darah Indonesianya. 


Jika ada pemain Belanda yang tertarik jadi pemain tim nasional kita, pasti butuh dikasih animo. Mungkin memang mereka tergerak oleh narasi kakek-neneknya mengenai negeri indah serta damai, serta ingin jadi masyarakat negara yang dipanggil zamrud khatulistiwa ini. Tetapi kemungkinan besar juga ada fakta yang tidak diutarakan, jika mereka "keluar" sebab berpikir sesuai kenyataan lihat ketatnya kompetisi tembus tim tim nasional Belanda. 


Berlainan dengan Radja Nainggolan yang tidak kehilangan kreatifitas dalam tunjukkan kesenangannya pada Indonesia, walau dalam soal sepakbola dia pilih tim nasional Belgia. Radja relatif seringkali memberi komentar positif di sosial media mengenai Indonesia terhitung setelah tim nasional berlaga. Dia juga sudah pernah bertandang ke Medan, wilayah asal bapaknya. Dia tidak dendam walau Radja ditinggal oleh bapaknya semenjak masih beberapa anak hingga Radja diasuh ibunya yang orang Belgia. 


Tanpa ada dengan maksud menyepelekan, rasa-rasanya jika Radja pilih bela tim nasional Indonesia, profesinya tidak semoncreng sekarang. Dalam soal ini, Radja sudah melakukan tindakan sesuai kenyataan tanpa ada dicap sombong sebab dia masih menunjukkan tidak membenci tanah leluhurnya. 


Lalu mengapa beberapa pemain Afrika yang ingin jadi WNI? Minta maaf jika saya berprasangka maksudnya jadi WNI lebih pada alasan ekonomis, serta tidak sebab ngotot agar bisa tempat di tim nasional Indonesia. juga mereka baru jadi WNI di umur seputar 30 tahun, waktu peluangnya menguatkan tim nasional negara aslinya (seperti Kamerun, Nigeria, dan lain-lain) semakin tipis. 


Dengan jadi WNI, mereka tidak terserang paket tiap club yang cuma bisa menggunakan pemain asing optimal beberapa tersendiri. Kalaulah tidak laris di club elite Indonesia, masih ada kesempatan di club dengan kelas lebih rendah. Mereka tidak harus keluar Indonesia dahulu, lalu balik lagi, jika visanya telah habis jika masih berstatus WNA. 


Jadi, alasan seseorang pemain asing ganti paspornya dengan paspor RI, dan alasan seseorang pemain berdarah Indonesia menampik bela tim nasional, sebab mengharap dapat menguatkan tim nasional negara lain, kemugkinan besar atas basic alasan yang sesuai kenyataan atau rasional-ekonomis. 


Saya memikirkan beberapa anak Indonesia yang di besarkan di negara maju, pasti sudah membaur dengan budaya luar negeri serta sekaligus juga memiliki jarak dengan budaya nasional kita. Jika pada akhirnya beberapa anak itu tidak kental rasa keindonesiaannya, bisa dimaklumi. 



Tidak perlu jauh-jauh, dalam rasio antarprovinsi saja, hal ini berlangsung. Anak saya yang ayah-bundanya asli Padang, tetapi lahir serta besar di Jakarta, jika mereka merasakan jadi orang Jakarta, bukan orang Padang, apa orang Padang harus memandang anak saya jadi anak yang sombong? 


Anak saya masih punyai justifikasi jika merasakan jadi anak Jakarta, karenanya ialah kota kelahirannya. Tetapi bagaimana dengan putra asli Aceh atau Maluku yang usai kuliah di Jakarta, Bandung, atau Yogyakarta, pilih berkarier di perusahaan bonafide di Pulau Jawa, serta tidak tertarik membuat kampung halamannya. Apa mereka pengkhianat? 


Lalu, pantaskah kita menyisipkan gelar anak durhaka buat diaspora Indonesia, beberapa sudah tinggalkan status WNI, sebagai periset, guru besar, atau manager profesional di beberapa negara maju? Waktu industri pesawat terbang kita mati suri belasan tahun kemarin, banyak pekerjanya yang eksodus ke industri semacam di luar negeri. Apa mereka jadi "kacang yang lupa dengan kulit"? 


Ialah takdir yang membuat satu orang terlahir dari orangtua berdarah Indonesia. Kesayangan pada tanah leluhur dapat dipertunjukkan dengan beberapa langkah, tidak harus semua beraksi di Tanah Air. Selama masih ada perasaan cinta di dada mereka, apabila ada kelebihan rejeki, mereka ingin share dengan saudara-saudara di Tanah Air, rasa-rasanya telah jadi suatu yang berharga positif. Menjuluki mereka jadi orang sombong, malah mengurangi kesayangan mereka pada Tanah Air. 



Comments
* The email will not be published on the website.
I BUILT MY SITE FOR FREE USING